Analisa Pasal 32 Ayat 4 Perda Kota Malang Nomor 15 Tahun 2010 Tentang Penetapan BPHTB

Oleh: dr.mahdi

Bagi masyarakat awam mengetahui berbagai aspek perpajakan terkait dengan peristiwa atau kondisi-kondisi yang sering ditemui di lapangan membuat masyarakat bingung. Pengetahuan tentang perpajakan bagi wajib pajak sangat penting untuk dapat menyikapi peristiwa dan kondisi terkait dengan tepat dan bijak, serta menghindari diri dari kerugian yang dialami. Sehingga akan membantu masyarakat awam mengetahui hak dan kewajiban wajib pajak sehingga dapat menjalankan dengan baik. 


Pajak adalah kontribusi yang wajib bagi masyarakat sebagai warganegara yang menunjukkan peran serta seluruh masyarakat dalam pembiayaan dan pengeluaran pemerintah untuk melaksanakan pemerintahan dan untuk pembangunan. Pajak telah terbukti menjadi sumber dana yang penting dan utama untuk mendukung pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Pajak juga dapat diartikan sebagai iuran atau biaya yang dibebankan dan dipunggut oleh pemerintah pada produk, pendapatan atau kegiatan yang bersifat memaksa   berdasarkan  Undang-Undang dengan  tidak mendapat  imbalan  secara  langsung  dan  digunakan  untuk  keperluan  negara  dan manfaat sebesar-besarnya untuk  kemakmuran rakyat. Hal ini sudah benar dan wajar dilakukan oleh setiap Negara dibelahan dunia manapun. Pajak harus dibentuk berdasarkan undang-undang, karena amanat Pasal 23A Undang-Undang dasar 1945.


Pajak merupakan perwujudan dari kewajiban kenegaraan dan peran serta Wajib Pajak (WP) untuk secara langsung dan bersama-sama melaksanakan  kewajiban perpajakan untuk pembiayaan negara dan pembangunan nasional. Sesuai falsafah undang-undang perpajakan, membayar pajak bukan hanya  merupakan kewajiban, tetapi merupakan hak dari setiap warga Negara untuk ikut berpartisipasi dalam bentuk peran serta terhadap pembiayaan negara dan pembangunan nasional.


Dalam pemungutan pajak di Indonesia tidak serta merta pemerintah membuat aturan dalam Undang-Undang, tetapi melalui kesepakatan rakyat dan pemerintah melalui wakil-wakil rakyat dan pertimbangan pemerintah dalam memutuskan besarnya pajak yang dibebankan rakyat. Hasil dari ketentuan-ketentuan itu menjadi aturan atau hukum perpajakan. Dengan adanya hukum pajak tersebut agar dapat dimaksudkan untuk seuatu kepastian hukum dimana wajib pajak akan membayar kewajibannya sesuai dengan ketentuan pengenaan sanksi bagi pihak yang tidak membayar sebagaimana mestinya, dan dipihak lain, menjadi jaminan bagi Fiskus untuk melaksanakan tugas dan kewenangan tugas untuk melaksanakan pemungutan pajak sesuai undang-undang pajak.


Jika pajak dikenakan pada harga barang atau jasa, maka disebut pajak tidak langsung. Tujuan perpajakan adalah anggaran untuk membiayai pengeluaran pemerintah.Salah satu penggunaan yang paling penting dari pajak untuk membiayai barang publik dan jasa, seperti penerangan jalan dan pembersihan jalan. Karena barang dan jasa publik tidak memungkinkan non-pembayar untuk dikecualikan, atau mengizinkan pengecualian oleh konsumen, tidak mungkin ada sebuah pasar dimana ada barang atau jasa, sehingga mereka perlu disediakan oleh pemerintah atau lembaga yang dikuasi-pemerintah, yang cenderung untuk membiayai diri mereka sendiri terutama melalui pajak yang diperoleh oleh pemerintah. Keterkaitan antara pajak dan pembangunan tidak hanya dapat dilihat dalam formula tersebut, sebab pajak dapat pula dipergunakan sebagai instrument untuk mencapai tujuan-tujuan yang letaknya di luar bidang keuangan Negara, fungsi yang demikian disebut fungsi regular.


Pelaksanaan sistem perpajakan terus disempurnakan dengan memperhatikan asas keadilan, kemampuan dan manfaat. Kesadaran masyarakat Wajib Pajak terus ditingkatkan, prosedur perpajakan terus disempurnakan dan aparatur pajak harus makin mampu dan bersih. Kebijaksanaan Pemerintah perlu diarahkan agar makin mendorong pendayagunaan dan pengembangan sumber daya manusia dan sumber daya alam. Merangsang kegiatan ekspor dan perekonomian pada umumnya, serta membantu terlaksananya pola hidup sederhana.


Bab penjelasan umum Undang-Undang Nomor 28 Tahun 20099tentang Pajak Daerahhdan Retribusi Daerah menegaskan bahwa Negara Negara Republik Indonesia di bagi atas daerah-daerah provinsi, dan masing-masing dari daerah provinsi terdiri atas daerah-daerah kabupaten dan kota. Masing-masing daerah tersebut kemudian mempunyai hak dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat. Pemerintah daerah, berhak mengenakan pungutan kepada masyarakat, baik berupa pungutan yang bersifat pajak daerah maupun retribusi daerah berdasarkan pada Undang-Undang.


Dalam kenyataannya hasil penerimaan yang diperoleh dari pajak daerah dan retribusi daerah belum memadai dan hanya berperanan kecil terhadap anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD), sehingga tidak jarang sebagian besar pengeluaran APBD dibiayai dari sumber alokasi dana dari pusat, dan dana alokasi yang diperoleh dari pemerintah pusat tidak sepenuhnya dapat diharapkan menutup seluruh kebutuhan pengeluaran daerah, berkaitan dengan pemberian kewenangaan yang telah diatur didalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004$ tentang Perimbangann Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. 


Dalam rangka lebih meningkatkan kepastian hukum dan keadilan, sistem perpajakan perlu diciptakan dengan sederhana tanpa mengabaikan pengawasan dan pengamanan dalam rangka penerimaan negara, agar pembangunan nasional dapat dilaksanakan secara mandiri dan untuk menampung penyelenggaraan kegiatan usaha yang terus menerus berkembang dalam bidang perolehan hak atas tanah dan bangunan, untuk itu perlu diatur dalam Peraturan Daerah. Dampak dari peningkatan pendapatan daerah dalam sektor perpajakan kadang memberikan dampak yang kurang baik terhadap iklim investasi. Sehingga biaya ekonomi masyarakat di daerah semakin tinggi dan berat, selain itu masyarakat dibingungkan oleh tumpang tindihnya pungutan pusat dengan daerah.


Peraturan Daerah dari sektor pajak dan retribusi memberikan kewenangan kepada Daerah dalam penetapan tarif, berdasarkan pertimbangan-pertimbngan tersebut perluasan dalam bidang pajak Daerah semakin ditingkatkan dan diperluas dibeberapa sektor ekonomi masyarakat, mendaerahkan pajak pusat dan menambah jenis pajak baru yaitu Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan serta Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.


Dalam aturan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Daerah yang telah disahkan dan diundangkan, mengatur perluasan terhadap beberapa jenis pajak yang masuk utntuk daerah, yaitu PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) Pedesaan dan Perkotaan, dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, untuk selanjutnya disebut BPHTB, yang sebelumnya merupakan pajak Pemerintah Pusat menjadi pajak Daerah, tujuannya untuk meningkatkan penerimaan daerah dan harapannya dapat menutup seluruh kebutuhan pengeluaran Daerah.


 


2. Rumusan Masalah


Bagaimana analisisa yuridis Pasal 32 Ayat 4 Perda Kota Malang Nomor 15 Tahun 2010 Tentang Penetapan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan ditinjau dari asas kepastian hukum?


 


3. Jawaban


Pasal 32 Ayat 4 Perda Kota Malang Nomor 15 Tahun 2010 Tentang Penetapan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan, menyatakan:


“Apabila ada perbedaan yang signifiknan pada objek pajak antara yang dilaporkan dengan basiis data pajak yang dimiliki oleh pemerintah daerah, maka dilakukan pemeriksaan sederhana lapangan.”


Ketentuan Pasal 32 Ayat 4 Perda Kota Malang Nomor 15 Tahun 2010 Tentang Penetapan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan di atas sesungguhnya terdapat kekosongan hukum, arti makna “perbedaan signifikan” tidak dijelaskan dalam bab penjelasan Perda tersebut. Tentu saja hal ini mengakibatkan hukum menjadi tidak pasti.


Kepastian hukum adalah suatu kondisi atau keadaan yang muncul karena suatu peraturan yang telah dibuat dan disusun kemudian diundangkan secara pasti untuk mengatur secara jelas dan logis. Pengertian Jelas tidak adanya kekaburan norma atau keraguan (multitafsir) dan pengertian Logis yaitu suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma. Kepastian hukum menunjuk kepada pemberlakuan hukum yang jelas, tetap, konsisten dan konsekuen, yang pelaksanaannya tidak dapat dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang sifatnya subjektif.


Hukum yang pasti adalah hukum yang tidak bertentangan atau berbenturan dengan norma lainnya, atau tidak kabur atau tidak kosong. Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang harus diperhatikan, yaitu: kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Ketiga unsur tersebut harus ada kompromi, harus mendapat perhatian secara proporsional seimbang. Tetapi dalam praktek tidak selalu mudah mengusahakan kompromi secara proporsional seimbang antara ketiga unsur tersebut. Tanpa kepastian hukum orang tidak tahu apa yang harus diperbuatnya dan akhirnya timbul keresahan. Tetapi terlalu menitikberatkan pada kepastian hukum, terlalu ketat mentaati peraturan hukum akibatnya kaku dan akan menimbulkan rasa tidak adil.


Adanya kepastian hukum merupakan harapan bagi pencari keadilan terhadap tindakan sewenang-wenang dari aparat penegak hukum yang terkadang selalu arogansi dalam menjalankan tugasnya sebagai penegak hukum. Karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan tahu kejelasan akan hak dan kewajiban menurut hukum. Tanpa ada kepastian hukum maka orang akan tidak tahu apa yang harus diperbuat, tidak mengetahui perbuatanya benar atau salah, dilarang atau tidak dilarang oleh hukum. 


Kepastian hukum ini dapat diwujudkan melalui penoramaan yang baik dan jelas dalam suatu undang-undang dan akan jelas pulah penerapanya. Dengan kata lain kepastian hukum itu berarti tepat hukumnya, subjeknya dan objeknya serta ancaman hukumanya. Akan tetapi  kepastian hukum mungkin sebaiknya tidak dianggap sebagai elemen yang mutlak ada setiap saat, tapi sarana yang digunakan sesuai dengan situasi dan kondisi dengan memperhatikan asas manfaat dan efisiensi.


Ketentuan Pasal 32 Ayat 4 Perda Kota Malang Nomor 15 Tahun 2010 Tentang Penetapan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan di atas terkait arti makna “perbedaan signifikan” yang bertentangan dengan kepastian hukum, justru menimbulkan potensi untuk korupsi. Dimana pejabat Dispenda Kota atau Kabupaten dapat mempermainkan tarif pajak. Mengingat penetapan mengenai dasar pengenaan BPHTB ditentukan dari penilaian yang subjektif dari fiskus yang ada di Dispenda sendiri.


Istilah korupsi berasal dari satu kata dalam bahasa latin yakni corruptio atau corruptus yang disalin ke berbagai bahasa. Misalnya disalin dalam bahasa Prancis menjadi corruption dan dalam bahasa Belanda disalin menjadi istilah corruptie (korupsi). Agaknya dari bahasa Belanda itulah lahir kata korupsi dalam bahasa Indonesia (Andi Hamzah, 1991:7). Corruptie yang juga disalin menjadi corruptien dalam bahasa Belanda itu mengandung arti perbuatan korup, penyuapan (Wijowasito, 1999:128). Secara harfiah istilah tersebut berarti segala macam perbuatan yang tidak baik, seperti yang dikatakan Andi Hamzah sebagai kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah (ibid). Sebagai pengertian yang buruk, busuk, rusak, kebejatan moral, kelakuan yang menyimpang, penyuapan, hal itu juga dapat dijumpai dalam Kramers’ Engels Woordenboek oleh F. Prick van Wely yang menyebutkan bahwa “corruption....., bedorvenheid, verdorvenheid, verbastering; verknoing of verminking, omkoping (F. Prick van Wely, 1946:95). Dalam arti sosial tampaknya masyarakat memang mengasosiasikan korupsi sebagai penggelapan uang (milik negara atau kantor) dan menerima suap dalam hubungannya dengan jabatan atau pekerjaan, walaupun dari sudut hukum tidak persis sama. Mengingat dari sudut hukum banyak syarat/unsur yang harus dipenuhi bagi suatu tingkah laku agar dapat dikualifikasikan sebagai salah satu dari tindak pidana korupsi sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang.  


Pengertian Korupsi dimuat pada Pasal 1 butir 3 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, sebagai berikut:


“Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tindak pidana korupsi”.


Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dimuat pengertian korupsi sebagai berikut:


“Penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan, dan sebagainya untuk keuntungan pribadi atau orang lain”.


Pengertian Kolusi dimuat pada Pasal 1 butir 4 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999, sebagai berikut:


 “Permufakatan atau kerja sama secara melawan hukum antar penyelenggara negara atau antara penyelenggara negara dan lain yang merugikan orang lain, masyarakat dan atau negara”.


Pengertian Nepotisme dirumuskan pada Pasal 1 butir 5 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999, sebagai berikut:


“Nepotisme adalah setiap perbuatan Penyelenggara Negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarga atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa dan negara”.


Korupsi merupakan isu paling menarik dan paling sering digunakan dalam kampanye-kampanye, contohnya: Mantan Presiden Meksiko, Jose Lopez Portilo (1982) mengatakan bahwa korupsi yang terjadi di negaranya telah mengeruk lebih banyak uang keluar Mexico daripada yang pernah dijarah kaum imperalis Eropa selama sejarah negeri tersebut. Presiden selanjutnya, Miguel de la Madrid, membangun simpati rakyat melalui kampanyenya untuk melawan korupsi. Presiden Uni-Sovyet Yuri Andropov, pada awal pengangkatannya menjadi presiden telah berjanji untuk membasmi korupsi di negaranya. Rajiv Gandhi sukses menjadi Perdana Menteri India, setelah kematian ibunya, Indira Gandhi, terutama karena janji-janji untuk melawan korupsi dalam kampanyenya.  


Korupsi secara langsung maupun tidak langsung dimaksudkan menekan seminimal mungkin terjadinya kebocoran dan penyimpangan terhadap keuangan dan perekonomian negara. Dengan diantisipasi sedini dan seminimal mungkin penyimpangan tersebut, diharapkan roda perekonomian dan pembangunan dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya sehingga lambat laun akan membawa dampak adanya peningkatan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat pada umumnya.


Bertitik tolak aspek tersebut di atas, terhadap peraturan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia mengalami banyak perubahan, dicabut dan diganti dengan peraturan baru. Hal ini dapat dimengerti karena di satu pihak perkembangan masyarakat demikian cepat dan modus operandi Tindak Pidana Korupsi makin canggih dan variatif sedangkan di lain pihak perkembangan hukum (“law in book”) relatif tertinggal dengan perkembangan masyarakat. Berdasarkan hal tersebut di atas, secara kronologis dapatlah disebutkan ada sedikitnya 8 (delapan) fase perkembangan peraturan yang mengatur mengenai Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, yaitu:


1. Fase Ketidakmampuan Tindak Pidana Jabatan (ambtsdelicten) dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) untuk Menanggulangi Korupsi;


2. Fase Keputusan Presiden No. 40 Tahun 1957 jo Regeling op de Staat van Oorlog en ven Beleg (Stb. 39-582 jo 40-79 Tahun 1939) tentang Keadaan Darurat Perang;


3. Fase Keputusan Presiden No. 225 Tahun 1957 jo Undang-Undang No. 74 Tahun 1957 jo Undang-Undang No. 79 Tahun 1957 tentang Keadaan Bahaya;


4. Fase Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi;


5. Fase Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 (LNRI 1971-19; TLNRI 2958) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;


6. Fase Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 (LNRI 1999-40; TLNRI 387) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;


7. Fase Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; dan


8. Fase Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi 2003 yang diratifikasi dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 2007.  


Dari kedelapan fase perkembangan tersebut dapat dideskripsikan bahwa fase 1, 2, 3, 4, dan 5 sudah dicabut dan tidak berlaku lagi sedangkan mengenai perkembangan fase 6, 7 dan 8 masih berlaku di Indonesia selaku Hukum Positif (ius Constitutum/ius Operatum) sebagai peraturan dalam penanggulangan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.  


Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Anti Korupsi (United Nations Convention Against Corruption (UNCAC), 2003) mendiskripsikan masalah korupsi sudah merupakan ancaman serius terhadap stabilitas, keamanan masyarakat nasional dan internasional, telah melemahkan institusi, nilai-nilai demokrasi dan keadilan serta membahayakan pembangunan berkelanjutan maupun penegakan hukum.  


Dalam Preambul ke-4 United Nations Convention Against Corruption, 2003 – Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003, yang berbunyi sebagai berikut:


“Convinced that corruption is no longer a local matter but transnational phenomenon that affects all societies and economies, making international cooperation to prevent and control it essential”. 


“Meyakini, bahwa korupsi tidak lagi merupakan masalah lokal, melainkan suatu fenomena transnasional yang mempengaruhi seluruh masyarakat dan ekonomi yang mendorong kerja sama internasional untuk mencegah dan mengontrolnya secara esensial”.


Makna yang sama dengan alinea ke-4 pembukaan Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa tersebut diamanatkan dalam konsiderans menimbang huruf b dan huruf c, UURI Nomor 7 Tahun 2006, tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4620). Demikian juga pada alinea pertama Penjelasan Umum UURI 7 Tahun 2006.


Pemberantasan korupsi yang dilakukan secara represif bermuara pada diadilinya terdakwa pelaku korupsi di sidang pengadilan. Dipidana/atau dibebaskannya terdakwa pelaku korupsi sangat tergantung pada dakwaan Jaksa Penuntut Umum dan alat-alat bukti di persidangan. Desakan dari pelbagai pihak agar terdakwa pelaku korupsi dihukum oleh pengadilan tentunya sudah didengar oleh para hakim. Namun demikian, hakim sebagai pengemban kekuasaan kehakiman yang bebas dan mandiri akan menjatuhkan putusan yang didasarkan pada hukum dan keadilan. Apapun yang diputuskan hakim sepanjang didasari fakta dan pertimbangan hukum tanpa suatu pamrih, tentu akan menjadi putusan yang adil dan dapat diterima pelbagai pihak. 


Pada dasarnya tindak pidana korupsi adalah sama dengan tindak pidana penggelapan yang diatur dalam 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), juga tindak pidana yang lainnya yang diatur di dalam Pasal 209, 210, 387, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425, dan 435 KUHP. Perbedaannya adalah tindak pidana korupsi adalah perbuatan yang merugikan keuangan negara sedangkan tindak pidana penggelapan adalah perbuatan yang merugikan keuangan perusahaan swasta, adapun pelaku tindak pidana korupsi dan tindak pidana penggelapan adalah sama, artinya dapat dilakukan oleh pegawai negeri, penyelenggara negara, dan pegawai swasta. Sehingga tepat seperti yang diungkapkan oleh Lord Acton bahwa pemegang kekuasaan adalah pegawai negeri dan penyelenggara negara, melakukan tindak pidana korupsi berarti merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.


Selain pembenahan guna mengatasi tindak pidana korupsi dari segi perundang-undangan (substansi hukumnya), maka pembenahan juga harus dilakukan pada struktur hukumnya. 


Struktur hukum yang dimaksud dapat berupa sumber daya fisik/manusia dan sumber daya non fisik/kebendaan. Struktur hukum juga berkenaan dengan struktur dan sistem peradilan Indonesia, baik sistem peraturan dan birokrasinya. Struktur dimaksud dalam penelitian ini berkaitan dengan sistem peradilan pidana yang merupakan terjemahan dari “Criminal Justice System”, sebagai suatu sistem yang dikembangkan oleh praktisi penegak hukum (law enforcement officers) di  Amerika Serikat dan mencakup dua hal, yaitu komponen atau perangkat yang ada pada sub-sistem ini dan latar belakang munculnya Criminal Justice System itu sendiri. 


Pada dasarnya “Criminal Justice System” atau Sistem Peradilan Pidana dikemukakan pertama kali di Amerika Serikat oleh pakar hukum pidana dan para ahli dalam Criminal Justice Science. 


Ditinjau dari dimensinya maka Frank Hagan membedakan antara Criminal Justice System dengan Criminal Justice Process. Pada dasarnya, Criminal Justice System adalah: “...is the system by which society, fist determinies what will contitue a crime and then identifies, accuses, tries, convicts, and punishes those who violated the criminal law. Sedangkan Criminal Justice Process diartikan sebagai: “the series of procedure by which society identifies, accuses, tries, convicts, and punisher offender”. Oleh karena itu, terdapat perbedaan gradual kedua pengertian di atas yaitu Criminal Justice System merupakan substantive law sedangkan Criminal Justice Process menunjuk pada pengamanan penerapan dari substantive law.


Menurut Allan Coffey, ada perbedaan antara “sistem” dan “proses” dimana dikatakan bahwa, “The process of the system refers to many activities of police, attorneys, judges, probahation and a role and prison staff. Process therefore is the most visible part of the system.”  


Apabila dikaji dari terminologi, Sistem Peradilan Pidana atau Criminal Justice System merupakan suatu istilah yang menunjukkan mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar pendekatan sistem. Remington dan Ohlin dengan tegas mengemukakan aspek sebagai berikut:


“Criminal Justice System dapat diartikan sebagai pemakaian pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana, dan peradilan sebagai suatu sistem merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktik administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial. Pengertian sistem itu sendiri mengandung implikasi suatu proses interaksi yang dipersiapkan secara rasional dan dengan cara efisien untuk memberikan hasil tertentu dengan segala keterbatasannya.”


Terkait peraturan yang lemah, yang tidak memberikan kepastian hukum pada Pasal 32 Ayat 4 Perda Kota Malang Nomor 15 Tahun 2010 Tentang Penetapan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan, terkait kaburnya makna “perbedaan yang disnifikan” hal ini tentunya menimbulkan peluang korupsi besar-besaran ditataran pejabat Dispenda dan memunculkan pejabat-pejabat yang berwenang menerima gratifikasi yang bertujuan tercapainya tujuan negoisasi yang menguntungkan . 


Dinas Pendapatan Daerah atau yang dikenal dengan sebutan Dipenda atau Dispenda adalah organisasi yang berada di bawah pemprov pemerintah provinsi yang memiliki tanggung jawab dalam pemungutan pendapatan daerah melalui pengkoordinasian dan pemungutan pajak, retribusi, bagi hasil pajak, dana perimbangan, dan lain sebagainya sesuai peraturan perundang-undangan.


Tugas Pokok Dinas Pendapatan Daerah Propinsi adalah menyelenggarakan pemungutan pendapatan daerah dan mengadakan koordinasi dengan instansi lain dalam perencanaan, pelaksanaan, serta pengendalian pemungutan pendapatan daerah. 


 


 


Fungsi Dinas Pendapatan Daerah Propinsi :


1. Perumusan kebijakan teknis di bidang pendapatan daerah.


2. Penyusunan rencana dan program kegiatan di bidang pendapatan daerah.


3. Penelitian, pengkajian, evaluasi, penggalian dan pengembanganpendapatan daerah.


4. Pembinaan pelaksanaan kebijakan pelayanan di bidang pemungutan pendapatan daerah.


5. Penyelenggaraan pelayanan dan pemungutan pendapatan daerah.


6. Pengkoordinasiaan pelaksanaan pemungutan dana perimbangan.


7. Pemberian izin tertentu di bidang pendapatan daerah.


8. Evaluasi, pemantauan dan pengendalian pungutan pendapatan daerah.


9. Pengelolaan dukungan teknis dan administrasi.


10. Pembinaan teknis pelaksanaan kegiatan suku dinas dan unit pelayanan pajak kendaraan bermotor dan bea balik nama kendaraan bermotor.


Dinas Pendapatan Daerah mempunyai fungsi :


1. perumusan dan pelaksanaan kebijakan teknis di bidang pemungutan pajak daerah;


2. penyusunan perencanaan dan pelaksanaan program di bidang pemungutan PBB Perkotaan, BPHTB dan Pajak Daerah Lainnya;


3. pelaksanaan dan pengawasan pendataan, pendaftaran, penetapan PBB Perkotaan,  BPHTB dan Pajak Daerah Lainnya;


4. penyusunan dan pelaksanaan pengembangan potensi PBB Perkotaan, BPHTB dan Pajak Daerah Lainnya;


5. penyusunan rencana intensifikasi dan ekstensifikasi PBB Perkotaan, BPHTB dan Pajak Daerah Lainnya;


6. pelaksanaan pemungutan PBB Perkotaan, BPHTB dan Pajak Daerah Lainnya;


7. pelaksanaan penyelesaian keberatan PBB Perkotaan, BPHTB dan Pajak Daerah Lainnya;


8. Pelaksanaan penyelesaian permohonan pembetulan, pembatalan, pengurangan ketetapan, penghapusan, pengurangan sanksi, dan kelebihan pembayaran atas PBB Perkotaan, BPHTB dan Pajak Daerah Lainnya.


9. pembinaan dan pembukuan serta pelaporan atas pemungutan dan penyetoran PBB Perkotaan, BPHTB dan Pajak Daerah Lainnya.


10. pengendalian benda-benda berharga PBB Perkotaan, BPHTB dan Pajak Daerah Lainnya.


11. pembinaan dan pengendalian terhadap sistem pemungutan PBB Perkotaan dan Pajak Daerah Lainnya.


12. pelaksanaan penerbitan Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah (NPWPD);


13. pelaksanaan pemungutan penerimaan bukan pajak;


14. pelaksanaan penyidikan tindak pidana pelanggaran di bidang pemungutan PBB Perkotaan dan Pajak Daerah Lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;


15. pelaksanaan pembelian/pengadaan atau pembangunan aset tetap berwujud yang akan digunakan dalam rangka penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi;


16. pelaksanaan pemeliharaan barang milik daerah yang digunakan dalam rangka penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi;


17. pelaksanaan kebijakan pengelolaan barang milik daerah yang berada dalam penguasaannya;


18. pengelolaan administrasi umum meliputi penyusunan program, ketatalaksanaan, ketatausahaan, keuangan, kepegawaian, rumah tangga, perlengkapan, kehumasan dan kearsipan;


19. pelaksanaan Standar Pelayanan Minimal (SPM);


20. penyusunan dan pelaksanaan Standar Pelayanan Publik (SPP) dan Standar Operasional dan Prosedur (SOP);


21. pelaksanaan pengukuran Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM) dan/atau pelaksanaan pengumpulan pendapat pelanggan secara periodik yang bertujuan untuk memperbaiki kualitas layanan;


22. pengelolaan pengaduan masyarakat di bidang pemungutan pajak daerah;


23. penyampaian data hasil pembangunan dan informasi lainnya terkait layanan publik secara berkala melalui website Pemerintah Daerah;


24. pemberdayaan dan pembinaan jabatan fungsional;


25. penyelenggaraan UPT dan jabatan fungsional;


26. pengevaluasian dan pelaporan pelaksanaan tugas pokok dan fungsi; dan


27. pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Walikota sesuai dengan tugas pokoknya.


 


Klausul dalam Pasal 32 Ayat 4 Perda Kota Malang Nomor 15 Tahun 2010 Tentang Penetapan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan, yang menyatakan: “apabila ada perbedaan yang signifikan pada objek pajek antara yang dilaporkan dengn basis data pajakk yang dimiliki oleh pemerintah daerah.” Kata “perbedaan yang signiffikan” mengandung arti bahwa, seperti diketahui bersama terdapat penilaian subjektif dari dispenda apakah yang dimaksud dengan perbedaan yang signifikan itu lebih rendah dari Nilai Obyek Pajak Kena Pajak atau lebih tinggi dari harga transaksi, mengingat tidak ada peraturan dibawahnya yang mengatur mengenai apa yang dimaksud dengan perbedaan yang signifikan.


Berdasarkan pernyataan di atas maka, dapat disimpulkan bahwa terdapat atau tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada objek pajak yang dilaporkan dengan basis data pajak ditentukan oleh Pemerintah Daerah. 


Basis data pajak ialah data atau nilai pajak bumi dan bangunan, inilah yang dijadikan acuan oleh Fiskus dari Dispenda. Dalam penjelasan  Pasal 32 Ayat 4 Perda Kota Malang Nomor 15 Tahun 2010 Tentang Penetapan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan dinyatakan cukup jelas. Sesungguhnya hal ini merupakan kekosongan hukum, dimana tidak diatur mengenai  makna “perbedaan yang signifikan”. 


Suatu hukum yang baik setidaknya harus memenuhi tiga hal pokok yang sangat prinsipil yang hendak dicapai, yaitu : Keadilan, Kepastian dan Kemanfaatan.  Setelah dilihat dan ditelaah dari ketiga sisi yang menunjang sebagai landasan dalam mencapai tujuan hukum yang diharapkan.Maka jelaslah ketiga hal tersebut berhubungan erat agar menjadikan hukum, baik dalam artian formil yang sempit maupun dalam arti materil yang luas, sebagai pedoman perilaku dalam setiap perbuatan hukum, baik oleh para subyek hukum yang bersangkutan maupun oleh aparatur penegakan hukum yang resmi diberi tugas dan kewenangan oleh Undang-undang untuk menjamin berfungsinya norma-norma hukum yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Tetapi jika ketiga hal tersebut dikaitkan dengan kenyataan yang ada dalam kenyataanya sering sekali antara kepastian hukum terjadi benturan dengan kemanfaatan, atau antara keadilan dengan kepastian hukum, antara keadilan terjadi benturan dengan kemanfaatan. 


Sebagai contoh dalam kasus-kasus hukum tertentu, kalau hakim menginginkan keputusannya adil (menurut persepsi keadilan yang dianut oleh hukum tersebut tentunya) bagi si penggugat atau tergugat atau bagi si terdakwa, maka akibatnya sering merugikan kemanfaatan bagi masyarakat luas, sebaliknya kalau kemanfaatan masyarakat luas dipuaskan, perasaan keadilan bagi orang tertentu terpaksa dikorbankannya. 


Maka dari itu pertama-tama kita harus memprioritaskan keadilan barulah kemanfaatan dan terakhir adalah kepastian hukum. Idealnya diusahakan agar setiap putusan hukum, baik yang dilakukan oleh hakim, jaksa, pengacara maupun aparat hukum lainnya, seyogyanya ketiga nilai dasar hukum itu dapat diwujudkan secara bersama-sama, tetapi manakala tidak mungkin, maka haruslah diprioritaskan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.

Selanjutnya di dalam prakteknya penegakan hukum dapat terjadi dilematik yang saling berbenturan antara ketiga unsur tujuan hukum diatas, dimana dengan pengutamaan “ kepastian hukum “ maka ada kemungkinan unsur-unsur lain diabaikan atau dikorbankan. Demikian juga jika unsur  “ kemanfaatan “  lebih diutamakan, maka kepastian hukum dan keadilan  dapat dikorbankan.  Jadi  kesimpulanya dari ketiga unsur tujuan hukum tersebut diatas harus mendapat perhatian secara Proporsional yang seimbang.

Mengingat Ketentuan Pasal 32 Ayat 4 Perda Kota Malang Nomor 15 Tahun 2010 Tentang Penetapan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan di atas terdapat kekosongan hukum, arti makna “perbedaan signifikan” tidak dijelaskan dalam bab penjelasan Perda tersebut. Tentu saja hal ini mengakibatkan hukum menjadi tidak pasti dan menimbulkan potensi korupsi bagi pejabat Dispenda, karena semua tergantung pada penilaian yang subjektif dari Fiskus Dispenda.


Berdasakan analisa di atas, maka Pasal 32 Ayat 4 Perda Kota Malang Nomor 15 Tahun 2010 Tentang Penetapan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan harus direvisi, yang sebelumnya menyatakan:


“apabila ada perbedaan yang signifiknan pada objek pajak antara yang dilaporkan dengan basiis data pajak yang dimiliki oleh pemerintah daerah, maka dilakukan pemeriksaan sederhana lapangan.”


 


Ditambahkan dalam bab penjelasan Pasal 32 Ayat 4 Perda Kota Malang Nomor 15 Tahun 2010 Tentang Penetapan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan: 


“ Perbedaan yang signifikan adalah apabila terjadi perbedaan dengan selisih kurang dari 2 (dua) kali lipat dari nilai basis data pajak  (Pajak Bumi dan Bangunan) yang ada pada Dispenda.”


Dengan ditambahkannya dalam bab penjelasan Pasal 32 Ayat 4 Perda Kota Malang Nomor 15 Tahun 2010 Tentang Penetapan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Hal tersebut di atas lebih mencerminkan kepastian hukum dan mengurangi terjadinya praktik korupsi ditataran pejabat Dispenda. 


Keuntungan lainnya, Notaris atau PPAT dan juga masyarakat dapat mengetahui secara pasti berapa BPHTB yang harus dibayarkan tanpa harus ada verifikasi Lapangan yang menyebabkan lamanya proses untuk balik nama.