Upaya yang dapat Dilakukan Masyarakat yang Dirugikan dengan tidak adanya Kepastian Hukum

Oleh: dr.mahdi

Dasar pemungutan BPHTB, dalam beberapa buku dinyatakan berkaitan erat dengan Undangg-UUndang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3), yang menegaskan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan digunakan untukk sebesarn- besarnya kemakmuran rakyat. Tanah sebagai bagian dari bumi yang merupakan karunia dari Tuhan yang Maha Esa, dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasar berupa papan dan lahan usaha, dan dalam hal memperoleh hak atas tanah dan bangunan tersebut seseorang yang mempunyai hak adalah dijamin hak-haknya oleh Negara.

Sudah sewajarnya pemilik hak atas tanah dan bangunan menyerahkan sebagian nilai ekonomis kepada pemerintah melalui pembayaran pajak yang disebut bea perolehan hak atas tanah dan bangunan.[ Waluyo, Perpajakan Indonesia, Buku 2 Edisi 9, Salemba Empat, Jakarta, 2011, hlm. 203-204] BPHTB merupakan salah satu jenis pajak property yang dikenakan atas setiap perolehan hak atas tanah dan atau bangunan yang menurut ketentuanUndang-undang Nomor 211Tahun 1997, kemudian diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2000[ Marihot Pahala Siahaan, Kompilasi Peraturan di Bidang BPHTB, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2010, hlm. vii].

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2000 mengtur kewenangan pemungutan BPHTB sebagai pajak yang dipungut oleh pemerintah, namun seiring dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009, pada tanggal 1 Januari 2010, pada Bab XVIII ketentuan penutup, dalam Pasal 180 angka 6, ditegaskan bahwa Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor2I Tahun 1997 tetap berlaku paling lama 1 (satu) tahun sejak diberlakukannya Undang-Undang ini. 

Hasil pemungutan BPHTB oleh pemerintah daerah digunakan sebagai sumber pendapatan daerah, yang merupakan implementasi dari otonomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Kota Malang adalah sebuah kota Propinsi Jawa Timur, Indonesia. Malang merupakan kota terbesar kedua di Jawa Timur dengan jumlah penduduk hampir setiap tahunnya bertambah kisaran 0,86% (Sumber : BPS Kota Malang). Bahkan, data yang telah dikumpulkan di tahun 2013 jumlah penduduk Kota Malang mencapai 840.803 Jiwa (Sumber : BPS Kota Malang). Dengan melihat fakta-fakta yang ada di masyarakat bahwa Upah Minimum Pekerja (UMP) Kota Malang pada tahun 2013 yang mencapai Rp 1.600.000,- (data terakhir UMP yang diterapkan) dan pertumbuhann ekonomi penduduk yang meningkat 7.30% di tahun yang sama (Sumber : BPS Kota Malang) dan secara administratif terbagi menjadi 5 Kecamatan yang terdiri dari 57 kelurahan dengan luas wilayah keseluruhan mencapai 110.06 Km2 adalah sebagai salah satu bentuk penerimaan dari pajak Bea PerolehannHak atas Tanah dan Bangunann (BPHTB). [www.malang.go.id/pemerintahan/kota/malang/. di akses tanggal 18 Januari 2015.


]

Kota Malang sebagai salah satu bagian dari wilayah Propinsi Jawa Timur, memiliki banyak potensi yang dapat digali dalam upaya meningkatkan pendapatan daerah. Dapat dilihat dari investor memasuki wilayah kota malang mulai dari pusat perbelanjaan, perumahan, lembaga pendidikan, sarana hiburan, angkutan kota dan lainnya. Yang dapat dilakukan dalam upaya meningkatkan pendapatan, yaitu potensi pajak dan retribusi, Badan Usaha Milik Daerah serta sumber Pendapatan Asli Daerah. Sumber pendapatan daerah yang paling potensial adalah Pendapatan Asli Daerah, namun kendalanya adalah belum diketahui potensi riil, oleh karena itu perlu dilakukan analisa potensi terhadap pihak investor atau subyek pajak untuk mematuhi ketentuan yang berlaku.

Pemda Kota Malang dalam rangka implementasi pemungutan BPHTB oleh Daerah sesuai Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009, telah menetapkan dan mengundangkan Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 15 Tahun 2010 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan atau Bangunan, pada tanggal 31 Desember 2010. Sejak tanggal 1 Januari 2011, pemungutan BPHTB menjadi kewenangan dari Dinas Pendapatan Daerah Kota Malang, disebut juga Dinas Pendapatan Daerah Kota Malang.

Dasar pengenaan tarif dan cara penghitungan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan diatur didalamPeraturan Daerah (PERDA) Kota Malang Nomor 15 Tahun 2010 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, diatur dalam Pasal 7 sampai dengan Pasal 10. Dasar pengenaan pajak adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP).  “NPOP ditentukan dari harga transakis dalam jual beli, nilai pasar objek pajak dalam hal tukar menukar, nilai pasar dalam hal hibah, nilai pasar dalam hal hibah wasiat, nilai pasar dalam hal waris, nilai pasar untuk pemasukan dalam perseroan atau badan hukum,nilai pasar untuk peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, nilai pasar karena pemberian hak baru atas tanah diluar pelepasan hak, nilai pasar karena penggabungan usaha, nilai pasar karena pemekaran usaha, nilai pasar yang diperoleh dari hadiah, dan penunjukan pembelian dalam lelang adalah transaksi yang tercantum dalam risalah lelang.”[Indonesia, Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 15 Tahun 2010 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, pasal 7 ayat 2.] Untuk menunjukkan nilai jual beli yang diperoleh dari lelang, maka NJOP PBB besarannya dilihat pada poin 1 dan 2 untuk mengetahui nilai paling rendah dari NJOP PBB.[ lihat Mardiasmo, Perpajakan, edisi XVII, Andi,Yogyakarta, 2013,  hlm 362]

Besarnya Nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak disebut juga dengan NPOPTKP ditetapkan secara regional dengan jumlah paling banyak sebesar Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) untuk setiap wajib pajak. Pengecualian diberikan jika hak tersebut diperoleh dari pewarisan atau hibah wasiat yang diberikan kepada keluarga yang mempunyai garis keturunan langsung dan mempunyai hubungan darah dengan penerima hibah wasiat atau waris, termasuk kepada suami maupun isteri. Pada kasus pewarisan dan hibah wasiat NPOPTKP ditetapkan secara regional paling banyak sebesar Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah).[  Lihat Mardiasmo, Op.cit, hlm.363]

Nilai Perolehan objek pajak kena pajak (NPOP) adalah nilai NPOP dikurangi dengan NPOPTKP.[ Anastasia Diana & Lilis Setiawati. Perpajakan Indonesia Konsep, Aplikasi dan Penuntunan Praktis, Andi, Yogyakarta, 2009, hlm. 688]. Tarif bea perolehan hak atas tanah dan bangunan ditetapkan sebesar 5 % (lima persen). Besaran pokok BPHTB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif BPHTB dengan NPOP setelah dikurangi dengan NPOPTKP.

Sesungguhnya sudah menjadi rahasia umum dimana, masyarakat dan Notaris mempermainkan tarif pajak BPHTB ini, pada intinya masyarakat merasa pengenaan 5% setelah nilai transaksi dikurangi Rp.60.000.000 sangat memberatkan masyarakat, dan notaris tidak bisa berbuat apa-apa karena masyarakat yang memaksa notaris untuk merekayasa nilai transaksi asli. Pemungutan pajak telah diatur dalam PERDA Nomor 15 Tahun 2010 Bab VI pasal 13. [ Indonesia, Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 15 Tahun 2010 pasal 13 : a. Pemungutan Pajak dilarang diborongkan, b. Setiap Wajib Pajak membayar Pajak yang terutang berdasarkan surat ketetapan pajak atau dibayar sendiri oleh wajib pajak berdasarkan perundang-undangan perpajakan, c. Wajib pajak yang memenuhi kewajiban perpajakan berdasarkan ketetapan Kepala Daerah dibayar dengan menggunakan SKPD yang dipersamakan, d. Dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana maksud pada ayat 3 berupa karcis dan nota perhitungan, e. Wajib pajak yang mematuhi kewajiban perpajakan sendiri dibayar dengan menggunakan SPTPD, SKPDKB dan atau SKPDKBT.]

Pasal 32 Ayat 4 Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 15 Tahun 2010 Tentang Penetapan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan, menyatakan:

“Apabila ada perbedaan yang signifikan pada objek pajak antara yang dilaporkan dengan basis data pajak yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah maka dilakukan pemeriksaan sederhana lapangan.”

Dari keseluruhan aturan di atas sesungguhnya, justru menimbulkan potensi untuk korupsi. Dimana pejabat Dispenda Kota atau Kabupaten dapat mempermainkan tarif pajak. Mengingat penetapan mengenai dasar pengenaan BPHTB ditentukan dari penilaian yang subjektif dari fiskus yang ada di Dispenda sendiri.[ Indonesia, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang  penyelenggaraan  Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851).]

Klausul dalam Pasal 32 Ayat 4 Perda Kota Malang Nomor 15 Tahun 2010 Tentang Penetapan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan, yang menyatakan: 

“apabila ada perbedaan yang signifikan pada objek pajek antara yang dilaporkan dengn basis data pajakkyang dimiliki oleh Pemerintah Daerah.” Kata “perbedaan yang signifikan” mengandung arti bahwa, terdapat penilaian subjektif dari dispenda, mengingat tidak ada peraturan dibawahnya yang mengatur mengenai apa yang dimaksud dengan perbedaan yang signifikan.

Berdasarkan pernyataan di atas maka, dapat disimpulkan bahwa terdapat atau tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada objek pajak yang dilaporkan dengan basis data pajak ditentukan oleh Pemerintah Daerah.Basis data pajak ialah data atau nilai pajak bumi dan bangunan, inilah yang dijadikan acuan oleh Fiskus dari Dispenda. Dalam penjelasan  Pasal 32 Ayat 4 Perda Kota Malang Nomor 15 Tahun 2010 Tentang Penetapan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan dinyatakan cukup jelas. Sesungguhnya hal ini merupakan kekosongan hukum, dimana tidak diatur mengenai  makna “perbedaan yang signifikan”.[ Pengertian Signifikan adalah suatu hal yang sangat penting dan tidak bisa lepas dari suatu persoalan. Signifikan adalah kata serapan dalam bahasa Inggris yaitu significant. (artinya kata significant adalah cukup besar untuk diperlihatkan atau memiliki efek sehingga signifikan diartikan sebagai suatu yang penting dan tidak bisa lepas dari hal lain.Bisa juga signifikan dalam pengertian dalam sebuah penelitian adalah suatu hal yang menyatakan tingkat kebenaran yang tidak bisa lepas dari suatu persoalan. Signifikan juga digunakan dalam suatu hal seperti menunjukkan hasil suatu riset atau keterkaitan sample. Contohnya dalam hasil penelitian yang memiliki signifikan sebesar 0,08% akan memberikan kebenaran sebesar 92% atau sebaliknya sehingga kemungkinan untuk kesalahan yang dapat ditimbulkan sebesat 2% saja.  Sehingga signifikan hanya menyatakan kebenaran menurut tingkat yang tidak lepas dari persoalan yang mendasar.www.pengertianmenurutparaahli.com, diakses pada tanggal 28 April 2015.]

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat disimpulkan terdapat permasalahan hukum normatif, yakni kekosongan hukum mengenai makna “perbedaan yang signifikan” pada Pasal 32 Ayat 4 Perda Kota Malang Nomor 15 Tahun 2010 Tentang Penetapan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan. Diharapkan dengan adanya kepastian hukum pada Pasal 32 Ayat 4 Perda Kota Malang Nomor 15 Tahun 2010 Tentang Penetapan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan, masyarakat dapat perlindungan dan keadilan hukum dari pemerintah.

2. Rumusan Masalah

Upaya apa yang akan dilakukan masyarakat yang dirugikan dengan tidak adanya kepastian hukum Pasal 32 Ayat 4 Perda Kota Malang Nomor 15 Tahun 2010 Tentang Penetapan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan?


3.Jawaban 

Terkait Upaya apa yang dapat dilakukan masyarakat dengan tidak adanya kepastian hukum Pasal 32 Ayat 4 Perda Kota Malang Nomor 15 Tahun 2010 Tentang Penetapan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan tentu saja dengan melakukan Judicial Review”. Judicial Review yang dilakukan masyarakat adalah dengan mengajukan ke Mahkamah Agung, mengingat:

a. MA mempunyai wewenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang lain.

b. MA berwenang menyatakan tidak sah peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku (Pasal 31 ayat (1) dan (2) UU No. 5 Tahun 2004)

Judicial Review (hak uji materil) merupakan kewenangan lembaga peradilan untuk menguji kesahihan dan daya laku produk-produk hukum yang dihasilkan oleh ekesekutif legislatif maupun yudikatif dihadapan konstitusi yang berlaku. Pengujian oleh hakim terhadap produk cabang kekuasaan legislatif (legislative acts) dan cabang kekuasaan eksekutif (executive acts) adalah konsekensi dari dianutnya prinsip ‘checks and balances’ berdasarkan doktrin pemisahan kekuasaan (separation of power). Karena itu kewenangan untuk melakukan ‘judicial review’ itu melekat pada fungsi hakim sebagai subjeknya, bukan pada pejabat lain. Jika pengujian tidak dilakukan oleh hakim, tetapi oleh lembaga parlemen, maka pengujian seperti itu tidak dapat disebut sebagai ‘judicial review’, melainkan‘legislative review’.

Judicial Review di negara-negara penganut aliran hukum civil law biasanya bersifat tersentralisasi (centralized system). Negara penganut sistem ini biasanya memiliki kecenderungan untuk bersikap pasti terhadap doktrin supremasi hukum. Karena itu penganut sistem sentralisasi biasanya menolak untuk memberikan kewenangan ini kepada pengadilan biasa, karena hakim biasa dipandang sebagai pihak yang harus menegakkan hukum sebagaimana yang tercantum dalam suatu peraturan perundangan. Kewenangan ini kemudian dilakukan oleh suatu lembaga khusus yaitu seperti Mahkamah Konstitusi.

Disisi lain, dalam sistem yang terdesentralisasi (desentralized system), seperti misalnya diterapkan di Amerika Serikat,kewenangan melakukan judicial review atas suatu peraturan dan konstitusi diberikan pada organ pengadilan yaitu Mahkamah Agung. Pertimbangan untuk memberikan kewenangan ini pada pengadilan adalah sangat sederhana, karena pengadilan memang berfungsi untuk menafsirkan hokum dan untuk menerapkannya dalam kasus-kasus.

Sedangkan dalam sistem pembagian kekuasaan (distribution or division of power) yang tidak mengidealkan prinsip ‘checks and balances’, pengujian semacam itu, jika diperlukan, dianggap hanya dapat dilakukan oleh lembaga yang membuat aturan itu sendiri. Misalnya, suatu Undang- undang hanya dapat diuji oleh Presiden dan DPR yang memang berwenang membuatnya sendiri. Usul mengenai pencabutan suatu Undang-Undang bisa datang dari mana saja, tetapi proses perubahan ataupun pencabutan Undang-Undang itu harus datang dari inisiatif Presiden atau DPR sebagai lembaga yang mempunyai wewenang untuk itu. Itulah sebabnya, selama  ini dianut pendapat bahwa Mahkamah Agung berwenang menguji materi peraturan dibawah Undang-Undang, tetapi tidak berwenang menguji materi Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar.

Pengujian judicial itu sendiri dapat bersifat formil atau materiel (formele toetsingsrecht en materiele toetsingsrecht). Pengujian formil biasanya terkait dengan soal-soal prosedural dan berkenaan dengan legalitas kompetensi institusi yang membuatnya. Hakim dapat membatalkan suatu peraturan yang ditetapkan dengan tidak mengikuti aturan resmi tentang pembentukan peraturan yang bersangkutan. Hakim juga dapat menyatakan batal suatu peraturan yang tidak ditetapkan oleh lembaga yang memang memiliki kewenangan resmi untuk membentuknya.

Sedangkan pengujian materiel berkaitan dengan kemungkinan pertentangan materi suatu peraturan dengan peraturan lain yang lebih tinggi ataupun menyangkut kekhususan-kekhususan yang dimiliki suatu aturan dibandingkan dengan norma-norma yang berlaku umum. Misalnya, berdasarkan prinsip ‘lex specialis derogate lex generalis’, maka suatu peraturan yang bersifat khusus dapat dinyatakan tetap berlaku oleh hakim, meskipun isinya bertentangan dengan materi peraturan yang bersifat umum. Sebaliknya, suatu peraturan dapat pula dinyatakan tidak berlaku jikalau materi yang terdapat di dalamnya dinilai oleh hakim nyata-nyata bertentangan dengan norma aturan yang lebih tinggi sesuai dengan prinsip ‘lex superior derogate lex infiriore’.

Landasan Hukum Yudicial Review Indonesia

Amandemen Ketiga UUD 1945 telah menetapkan kewenangan untuk mereview UU ada di Mahkamah Konstitusi sedangkan kewenangan mereview peraturan perundang-undangan di bawah UU diserahkan ke MA . Implementasi atas amandemen UUD 1945 telah ditentukan dalam UU No.5 tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, pasal 31 ayat (1), Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-undang terhadap Undang-undang . Tentang kewenangan Mahkamah Konstitusi telah ditentukan dalam UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal 10 ayat (1) huruf a, Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 .

Salah satu point penting dari hasil amandemen konstitusi adalah lahirnya Mahkamah Konstitusi dalam system ketatanegaraan Indonesia, sebagai lembaga yang berwenang untuk melaksanakan fungsi uji konstitusionalitas . Sedangkan Mahkamah Agung yang telah dikenal sebelumnya hanya diberikan hak sebatas pengujian legalitas. Artinya menurut Prof. Dr. Jimly Assidiqy, bahwa pengujian yang dilakukan oleh Mahkamah Agung itu adalah pengujian legalitas berdasarkan undang-undang .

Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung sebagai lembaga yang memberikan wewenang yudicial review, mendudukkan hakim-hakim konstitusi dan hakim-hakim agung sebagai perwakilan penegakan konstitusional hak warga negara. Aspek hukum ini memberikan suatu gambaran bahwa hakimlah yang sebenarnya mempunyai fungsi dan peranan untuk melakukan yudicial review atas suatu aturan hukum yang bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi baik dari sisi konstitusional maupun dari legalitas peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kritik Ideologi Hukum berkenaan dengan Mahkamah Konstitusi dalam tahapan awal, mutlak memerlukan suatu pemaparan gambaran manusia dan masyarakat dari hakim. Nilai-nilai serta kaidah-kaidah non yuridis apa yang mempengaruhi putusan dari para hakim. Pandangan pribadi tentang gambaran manusia dan masyarakat dari hakim akan menjalankan pengaruh terhadap putusan. Tidak terkecualinya juga dengan Mahkamah Agung, yang mendudukkan pandangan terhadap gambaran manusia dan masyarakat. Kedua pandangan ini disatukan dengan pandangan hukum yang berlaku dan hidup ditengah-tengah masyarakat dan hukum.







Tabel 1: Perbedaan Pengajuan YR ke MA dan MK. 

PENGAJUAN JUDICIAL REVIEW KE MAHKAMAH AGUNG PENGAJUAN JUDICIAL REVIEW KE MAHKAMAH KONSTITUSI

KewenanganMahkamah Agung (“MA”) terkait dengan judicial review adalah sebagai berikut:

a. MA mempunyai wewenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang.

b. MA menyatakan tidak sah peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku.

(Lihat Pasal 31 ayat [1] dan [2] UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung – UU 5/2004)

 Permohonan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang diajukan langsung oleh pemohon atau kuasanya kepada MA dan dibuat secara TERTULIS dan rangkap sesuai keperluan dalam Bahasa Indonesia (lihat Pasal 31A ayat [1] UU No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Keduaatas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung – UU 3/2009).

 Permohonan judicial review hanya dapat dilakukan oleh pihak yang menganggap haknya dirugikan oleh berlakunya peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, yaitu:

a. perorangan warga negara Indonesia;

b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; atau

c. badan hukum publik atau badan hukum privat.

(lihat Pasal 31A ayat [2] UU 3/2009)

 

Permohonan sekurang-kurangnya harus memuat:

a. nama dan alamat pemohon;

b. uraian mengenai perihal yang menjadi dasar permohonan dan menguraikan dengan jelas bahwa:

1. materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; dan/atau

2. pembentukan peraturan perundang-undangan tidak memenuhi ketentuan yang berlaku; dan

c. hal-hal yang diminta untuk diputus.

(lihat Pasal 31A ayat [3] UU 3/2009)

 

Permohonan judicial review ke MA diatur lebih rinci dalam Perma No. 1 Tahun 2004 tentang Hak Uji Materiil (“Perma 1/2004”) dengan menggunakan terminologi Permohonan Keberatan. Permohonan keberatan diajukan kepada MA dengan cara:

a.   Langsung ke MA; atau

b.   Melalui Pengadilan Negeri yang membawahi wilayah hukum tempat kedudukan Pemohon. (lihat Pasal 2 ayat [1] Perma 1/2004)

c.   Permohonan Keberatan diajukan dalam tenggang waktu 180 hari sejak ditetapkan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan (Pasal 2 ayat [4] Perma 1/2004).

d.   Pemohon membayar biaya permohonan pada saat mendaftarkan permohonan keberatan yang besarnya akan diatur tersendiri (Pasal 2 ayat [5] Perma 1/2004). 

e.   Dalam hal permohonan keberatan diajukan langsung ke Mahkamah Agung (Pasal 3 Perma 1/2004):

i.        Didaftarkan di Kepaniteraan Mahkamah Agung;

ii.       Dibukukan dalam buku register permohonan;

iii.     Panitera Mahkamah Agung memeriksa kelengkapan berkas dan apabila terdapat kekurangan dapat meminta langsung kepada Pemohon Keberatan atau kuasanya yang sah;

 

f.     Dalam hal permohonan keberatan diajukan melalui Pengadilan Negeri (Pasal 4 Perma 1/2004):

i.        Didaftarkan pada kepaniteraan Pengadilan Negeri;

ii.       Permohonan atau kuasanya yang sah membayar biaya permohonan dan diberikan tanda terima;

iii.     Permohonan dibukukan dalam buku register permohonan;

iv.    Panitera Pengadilan Negeri memeriksa kelengkapan permohonan keberatan yang telah didatarkan oleh Pemohon atau kuasanya yang sah, dan apabila terdapat kekurangan dapat meminta langsung kepada pemohon atau kuasanya yang sah.

  Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 3 huruf a jo. Pasal 10 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (“UU MK”), salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi (“MK”) adalah menguji undang-undang terhadap UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

 Pemohon judicial review adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu (Pasal 51 ayat [1] UU MK):

a.        perorangan warga negara Indonesia; 

b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;

c. badan hukum publik atau privat; atau 

d. lembaga negara.

 Permohonan wajib dibuat dengan uraian yang jelas mengenai pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (lihat Pasal 30 ayat [1] UU MK).

 Permohonan diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia dan ditandatangani oleh Pemohon atau kuasanya dalam 12 rangkap (lihat Pasal 29 UUMK) yang memuat sekurang-kurangnya:

a.   Identitas Pemohon, meliputi:

i.        Nama

ii.       Tempat tanggal lahir/ umur - Agama

Pekerjaan,  Kewarganegaraan, Alamat Lengkap    Nomor telepon/faksimili/telepon selular/e-mail (bila ada). 

b.  Uraian mengenai hal yang menjadi dasar permohonan yang meliputi:

i.  kewenangan Mahkamah;

ii. kedudukan hukum (legal standing) Pemohon yang berisi uraian yang jelas mengenai anggapan Pemohon tentang hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dirugikan dengan berlakunya UU yang dimohonkan untuk diuji;

iii. alasan permohonan pengujian diuraikan secara jelas dan rinci.

 c. Hal-hal yang dimohonkan untuk diputus dalam permohonan pengujian formil, yaitu:

i.mengabulkan permohonan Pemohon;

ii menyatakan bahwa pembentukan UU dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan UU berdasarkan UUD 1945;

iii menyatakan UU tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

 

d. Hal-hal yang dimohonkan untuk diputus dalam permohonan pengujian materiil, yaitu:

i. mengabulkan permohonan Pemohon;

ii. menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari UU dimaksud bertentangan dengan UUD 1945;

iii. menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari UU dimaksud tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

(lihat Pasal 31 UU MK jo. Pasal 5 Peraturan MK No. 06/PMK/2005 Tahun 2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang – Peraturan MK 6/2005).

Pengajuan permohonan harus disertai dengan alat bukti yang mendukung permohonan tersebut yaitu alat bukti berupa (Pasal 31 ayat [2] jo. Pasal 36 UU MK): 

a.        surat atau tulisan; 

b.        keterangan saksi; 

c.        keterangan ahli; 

d.        keterangan para pihak;

e.        petunjuk; dan

f.     alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.   

 

Di samping diajukan dalam bentuk tertulis permohonan juga diajukan dalam format digital yang disimpan secara elektronik dalam media penyimpanan berupa disket, cakram padat (compact disk) atau yang serupa dengan itu (lihat Pasal 5 ayat [2] Peraturan MK 6/2005).

 

Tata cara pengajuan permohonan:

1.   Permohonan diajukan kepada Mahkamah melalui Kepaniteraan.

2.   Proses pemeriksaan kelengkapan administrasi permohonan bersifat terbuka yang dapat diselenggarakan melalui forum konsultasi oleh talon Pemohon dengan Panitera.

3.   Petugas Kepaniteraan wajib memeriksa kelengkapan alat bukti yang mendukung permohonan sekurang-kurangnya berupa:

a.        Bukti diri Pemohon sesuai dengan kualifikasi sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yaitu:

i.        foto kopi identitas diri berupa KTP dalam hal Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia,

ii.       bukti keberadaan masyarakat hukum adat menurut UU dalam hal Pemohon adalah masyarakat hukum adat,

iii.     akta pendirian dan pengesahan badan hukum baik publik maupun privat dalam hal Pemohon adalah badan hukum,

iv.    peraturan perundang-undangan pembentukan lembaga negara yang bersangkutan dalam hal Pemohon adalah lembaga negara.

b.        Bukti surat atau tulisan yang berkaitan dengan alasan permohonan;

c.        Daftar talon ahli dan/atau saksi disertai pernyataan singkat tentang hal-hal yang akan diterangkan terkait dengan alasan permohonan, serta pernyataan bersedia menghadiri persidangan, dalam hal Pemohon bermaksud mengajukan ahli dan/atau saksi;

d.        Daftar bukti-bukti lain yang dapat berupa informasi yang disimpan dalam atau dikirim melalui media elektronik, bila dipandang perlu.

4.   Apabila berkas permohonan dinilai telah lengkap, berkas permohonan dinyatakan diterima oleh Petugas Kepaniteraan dengan memberikan Akta Penerimaan Berkas Perkara kepada Pemohon.

5.   Apabila permohonan belum lengkap, Panitera Mahkamah memberitahukan kepada Pemohon tentang kelengkapan permohonan yang harus dipenuhi, dan Pemohon harus sudah melengkapinya dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak diterimanya Akta Pemberitahuan Kekuranglengkapan Berkas.

6.   Apabila kelengkapan permohonan sebagaimana dimaksud ayat (7) tidak dipenuhi, maka Panitera menerbitkan akta yang menyatakan bahwa permohonan tersebut tidak diregistrasi dalam BRPK dan diberitahukan kepada Pemohon disertai dengan pengembalian berkas permohonan.

7.   Permohonan pengujian undang-undang diajukan tanpa dibebani biaya perkara.

(lihat Pasal 6 Peraturan MK 6/2005).

 

 

Dapat disimpulkan bahwa:

1. Yudicial Review merupakan ciri-ciri Negara demokrasi dan hukum dimana rakyat adalah sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam suatu Negara (kedaulatan ditangan rakyat), hak-hak konstitusional warga negara harus tetap diperlihara dan dijaga untuk melindungi dari kekuasaan politik.

2. Yudicial Review di Indonesia dijalan oleh dua lembaga yaitu Mahkamah Konstitusi berdasarkan UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, sedangkan Mahkamah Agung berdasarkan UU No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, kemudian diubah oleh UU No.5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

3. Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung Pemegang Wewenang Yudicial Review di Indonesia, Mahkamah Konstitusi mempunyai hak menguji konstitusional dan Mahkamah Agung mempunyai hak uji legalitas.